Legenda Keris Kyai Condong Campur dan Tombak Korowelang
Dunia Klenik - Banyak pusaka Majapahit dibuat oleh Mpu Supa atau keturunannya. Akan tetapi, keris ber-dhapur Condong Campur masih misterius dan menyimpan tanya. Sampai saat ini, beberapa sumber hanya menyebutkan, bahwa keris itu adalah pusaka Majapahit. Ulasan berikut adalah pendapat Mpu Sungkowo Harumbrodjo, beliau adalah keturunan ke-17 dari Mpu Supa dan Mbah Joyo Sumarto (80), tokoh yang ahli tosan aji Museum Rumah Budaya Tembi Jogjakarta tentang keris itu.
Pusaka berwujud sebilah keris, untuk orang Jawa tak hanya berfungsi sebagai senjata tikam atau piandel belaka. Kewaskitaan para Mpu di zaman dahulu, sudah menurunkan kepada anak keturunannya, nilai-nilai falsafah yang terkandung pada pamor, dhapur dan bagian-bagian lainnya pada sebilah keris. Begitu juga japa mantra atau tata laku pembuatan keris bertuah ampuh/hebat. Oleh sebab itu, ada keris tertentu yang memiliki kedudukan tinggi di mata orang Jawa, serta menjadi simbol keluhuran (status sosial) pemiliknya.
Keluhuran nilai falsafah yang terkandung dalam sebilah keris itu masih diperkuat oleh daya ghaib atau tuah, seperti yang dikatakan oleh Mpu Sungkowo Harumbrodjo (54), memang benar-benar ada. “Karena, membuatnya juga dengan laku dan japa mantra ”, ujar beliau di kediamannya belum lama ini.
Mpu Sungkowo Harumbrodjo merupakan keturunan ke-17 dari Mpu Supa, pembuat / pencipta sejumlah keris pusaka Majapahit. Ia adalah keponakan sekaligus murid Mpu Djeno Harumbrodjo, yang wafat pada 25 Mei 2006 lalu. Semejak muda, Mpu Sungkowo memang sudah disiapkan oleh mendiang Mpu Djeno untuk mewarisi segala ilmu perkerisan dari tangguh (asal pembuatan) Mpu Supa-Majapahit.
Bicara soal keris kuno warisan Majapahit, ungkap Mpu Sungkowo Harumbrodjo, tidak bisa lepas dari legenda yang menyertainya. Karena, para Mpu di zaman dahulu memang selalu mewartakan sesuatu hanya secara lisan dengan bercerita. Diakui Mpu Harumbrodjo, dari keterangan lisan itu kemudian bersifat subyektif dan menimbulkan sedikit perbedaan bentuk keris, walau tidak sampai merubah pakem dan makna dari sebuah dhapur atau pamor. Perbedaan bentuk keris ini, lanjutnya, amat tergambar pada keris berdhapur Condong Campur, dimana di Jogjakarta ber-Luk 5, sementara di Solo tanpa Luk atau lurus.
Pamor Dari Batu Meteor
Keris Kyai Condong Campur menurut pakem atau tangguh Jogjakarta, terang Mpu Harumbrodjo, memiliki lima Luk(lekukan pada keris). Terdapat kembang kacang, ada dua jalu memet dan dua lambe gajah. Di wilah atau bilahnya terdapat blumbangan dan sogokan. Sementara pamornya bisa berupa Tepen Beras Wutah atau lainnya. Dia menandaskan, pamor terbaik terbuat dari batu meteor yang jatuh dari angkasa. “Dulu, batu meteor itu diyakini sebagai pemberian para Dewa”, ujarnya.
Disamping kualitasnya yang luar biasa, lanjutnya, pamor batu meteor ini sungguh melambangkan kesadaran kosmis yang tinggi. Keris yang dibuat dengan bahan campuran berasal dari benda angkasa dan bumi, melambangkan bersatunya Bapa Akasa (unsur paternal) dan Ibu Pertiwi (unsur maternal). Maka, anak atau hasilnya menjadi sangat bertuah ampuh dan ber-guwaya atau berkharisma sangat kuat.
Seperti telah dipaparkan di atas, semua bagian keris mengandung makna. Mpu Harumbrodjo menerangkan, dhapur Condong Campur merupakan lambang persatuan, yang muncul di Majapahit sekitar abad 14. Disebut lambang persatuan, karena sengaja diciptakan sebagai lambang keinginan para Mpu untuk bersatu, dalam keberagaman di tengah semakin banyaknya etnis Tionghoa (pedagang) dan pesatnya perkembangan agama Islam yang ketika itu masih baru.
Sangat lumrah bila pada awal keberagaman itu terjadi gejolak. Apalagi, kedatangan Islam yang diawaki oleh para Sunan, tak kalah pula ampuhnya dalam menciptakan keris pusaka. Keinginan para Mpu inilah kemudian, yang menurut Mpu Harumbrodjo melahirkan keris berdhapur Condong Campur. Namun setiap pusaka ampuh buatan para Mpu zaman itu, selalu diminta oleh Prabu Brawijaya V untuk djadikan piandel kerajaan. Tidak terkecuali keris Kyai Condong Campur, yang menurut Mpu Harumbrodjo dibuat oleh Ki Joko Supa (Mpu Supa muda) dari besi pemberian kakak iparnya, Kanjeng Sunan Kalijaga. Dari sinilah kemudian terbetik kisah pertarungan keris Kyai Condong Campur melawan Kyai Sengkelat, yang telah banyak dikupas dalam sekian versi babad, berikut tafsir filosofinya.
Menurut Mbah Joyo Sumarto (80), ahli tosan aji Museum Rumah Budaya Tembi Jogjakarta, dengan sangat yakin mengatakan, keris Kyai Condong Campur hanyalah sanggit atau sanepo dari sebuah keadaan di suatu periode zaman Majapahit.
Keadaan itu adalah keinginan untuk menyatukan kawula di tanah Jawa dalam keragaman budaya dan kepercayaan. Secara jelas mbah Joyo menerangkan, keris Kyai Condong Campur merupakan perlambang (sanepo) dari keinginan Sunan Kalijaga untuk menyatukan perbedaan. “Wujud persatuan itu adalah tata-cara agama Islam yang disesuaikan dengan tata laku orang Jawa. Jadi, Islam diterapkan bukan sebagai Islam Arab, tetapi Islam Jawa”, tutur mbah Joyo.
Peristiwa dari adanya penyatuan, pembauran atau perpaduan budaya (akulturasi) yang dituturkan oleh mbah Joyo itulah sebenarnya maksud dan makna perlambang keris Kyai Condong Campur. Tegasnya, keris itu hanyalah semacam sanepo halus (eufemisme) atau perumpamaan, yang dikemas dalam sebuah cerita, dongeng atau babad oleh para Mpu atau pujangga, guna mencatat kiprah para leluhur di tanah Jawa. “Inilah kewaskitaan dan keluhuran budi para pujangga zaman dulu, dalam menerangkan hal-hal yang ketika itu masih sangat peka atau sensitif”, kata mbah Joyo.
Hal yang sama juga berlaku untuk keris Kyai Kalam Munyeng, yang konon tercipta dari kalam atau pena yang terbuat dari lidi aren, yang terlempar dari tangan Sunan Giri II karena terkejut oleh serangan Majapahit. Peristiwa pembongkaran makam Sunan Giri I oleh prajurit Majapahit yang kemudian memunculkan kisah jutaan lebah menghabisi prajurit Majapahit, menurut mbah Joyo adalah juga sanepo. Jutaan lebah itu merupakan perlambang bersatunya kawula atau rakyat Sunan Giri, yang jumlahnya melebihi jumlah pengikut setia Majapahit.
Demikian pula kisah perjalanan Puntadewa dengan tongkat dan serat Jamus Kalimasada, dikatakan pula oleh mbah Joyo sebagai sanepo dari sebuah peristiwa. Berbagai kisah ini dikatakan oleh mbah Joyo sebagai sanepo halus dari adanya perang roso atau rasa (kepercayaan) pada zaman itu.
Tuah Sebilah Keris Pusaka
Lantas, bagaimana dengan keris pusaka yang diyakini sebagai keris Kyai Condong Campur atau keris-keris lain yang oleh mbah Joyo dipandang hanya sekedar perlambang? “Ya, monggo saja bila orang percaya sebilah keris itu adalah keris pusaka Kyai Condong Campur atau apa?”, timpal mbah Joyo, yang sejak muda telah menggeluti seluk-beluk keris, dan banyak menimba ilmu dari KRT Hastononegoro (Romo Pono), ahli tosan aji yang masih kerabat Kasultanan Jogjakarta.
Keris Kyai Condong Campur atau keris kuno lainnya, kata mbah Joyo, sangat pasti hanya mutrani atau imitasinya saja. Meski demikian, bukan berarti keris tiruan tak ada tuahnya. Mbah Joyo memberikan contoh, di museumnya kini juga tersimpan keris berdapur Kyai Sengkelat. “Tapi, tentu saja keris itu adalah mutrani alias Kyai Sengkelat buatan zaman sekarang. Tuah keris buatan sekarang tentu juga berbeda dengan tuah keris buatan Mpu zaman kuno”, papar mbah Joyo.
Untuk membuat keris bertuah, lanjutnya, sangat membutuhkan kewaskitaan sang Mpu. Ada empat syarat yang harus dilakoni seorang Mpu untuk membuat keris bertuah. Keempat syarat itu adalah sesaji, japa mantra, campuran tosan aji dan laku tirakat. Seorang Mpu harus mengetahui apa saja sesaji yang diperlukan untuk membuat keris yang diinginkan, dan mengetahui japa mantra serta menguasai betul takaran dari berbagai bahan campuran tosan aji yang akan digunakan. Laku tirakat seperti puasa selama 40 hari dan memohon berkah Tuhan YME juga harus dilakoni.
Menentukan keaslian sebilah keris juga tak kalah susah. Ada banyak cara yang bisa digunakan, termasuk cara ilmiah dengan menguji bahan campuran tosan. Namun berkenaan dengan tuah atau daya kesaktian sebilah keris, sangat bergantung pada kepekaan batin atau rasa. Cara ini sering disebut dengan tarik. Mbah Joyo juga mengungkapkan, ada tiga cara sederhana yang bisa digunakan untuk menilai sebilah keris. Pertama, dari dapur atau bentuknya. Kedua, dari pamor atau isi rerengganan atau keindahan lis-lisan pada wilah atau bilah keris, dan ketiga dari tangguh, yakni asal pembuatan keris.
“Tangguh berasal dari kata tak sengguh, artinya diduga. Maka, cara melihat keris dengan tangguh ini berarti hanya menduga, yang bisa benar atau bisa salah. Karena itu, orang Jawa lebih mengandalkan rasa, yang terasah dari pengalaman dan laku”, terang mbah Joyo.
Ada pun cara mengetahui suatu keris itu cocok atau tidak untuk seseorang, mbah Joyo punya resep praktis yang sudah teruji ketepatannya. Cara itu adalah dengan menghitung panjang keris dari gagang hingga ujung bilah keris, dengan menggunakan kedua ibu jari secara bergantian atau berjalan ke atas, sambil mengucapkan unen-unen atau sanepo: cokro, gundolo, gunung, guntur, segoro, madu. Bila ibu jari sampai di ujung bilah keris dan unen-unen jatuh pada cokro, guntur atau gundolo, berarti keris itu tidak baik atau tidak cocok dipakai.
Bila hitungan jatuh pada sanepo gunung, segoro atau madu, keris tersebut sangat cocok dipakai. Gunung merupakan sanepo dari tuah keris berupa kederajatan atau kewibawaan, segoro adalah kesabaran dan madu adalah kelancaran rezeki. Kepada posmo, mbah Joyo juga mengatakan, tosan pada bilah keris atau ujung tombak pusaka yang mengandung uranium, bisa menangkal hujan. “Tapi begitu pusaka itu disarungkan kembali, hujan akan turun berlipat ganda”
Pusaka Pemersatu Bangsa
Keris Kyai Condong Campur atau Tombak Korowelang?
Sejumlah orang meyakini, keris Kyai Condong Campur tak sekedar mitos. Pusaka warisan zaman Majapahit itu dipercaya memiliki kekuatan yang mampu mempersatukan setiap elemen bangsa dan negara. Benarkah demikian?
Persatuan dan kesatuan bangsa bukanlah issue baru, namun harus selalu diingat karena perkembangan zaman cenderung menuju sifat individualistik. Modernitas zaman tak sekedar memberikan kemajuan atau berbagai kemudahan, tapi juga melunturkan nilai-nilai budaya bangsa sendiri sebagai dampak negatifnya. Perbedaan atau ketidak-adilan sosial-politik, juga merupakan faktor lain dari renggangnya persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.
Seringkali perpecahan diawali dari hal-hal kecil yang tak disadari atau dibiarkan karena dianggap remeh. Misalnya, menurunnya rasa kepedulian terhadap sesama dan rasa setia-kawan serta anarkisme dalam menghadapi perbedaan. Anarkisme di kalangan supporter sepak bola menjadi contoh konkrit. Bila ini terus terjadi, perpecahan menjadi bom waktu. Sejarah silam bangsa ini telah mengajarkan hal itu, sebagaimana tersirat dalam mitos keris Kyai Condong Campur.
Banyak versi telah mengungkap perihal keris Kyai Condong Campur. Pusaka Majapahit ini diartikan sebagai perlambang keinginan akan sebuah persatuan. Seperti diketahui, zaman Majapahit terakhir, abad 14, peradaban Hindhu di tanah Jawa mulai bergeser ke peradaban baru, Islam. Kadipaten Demak Bintoro, ketika itu berkembang pesat dan akhirnya menjadi kerajaan Islam terbesar di Jawa Tengah.
Berdirinya Kerajan Demak Bintoro ditandai candra sengakala Geni Mati Siniraman Janma, yang berarti tahun 1403 Saka atau 1478 Masehi (DR Purwadi, MHum, 34: 2005). Meski peperangan antara Demak (Islam) melawan Majapahit (Hindhu) termaktub dalam banyak versi babad dan kisah tutur, namun secara historis banyak ahli sejarah menolak kebenarannya. Sebab, tak ditemukan catatan sejarah atau prasasti yang membuktikan hal itu. Ini menunjukkan, betapa silang sengkarutnya situasi zaman itu, sehingga runtuhnya Majapahit tak bisa dipastikan penyebabnya.
Candra sengakala berbunyi: Sirna Ilang Kertaning Bumi, yang berarti tahun 1400 Saka, bahkan dinilai bukan berarti runtuhnya Majapahit, melainkan prasasti gugurnya Brawijaya V dalam pemberontakan Girindrawardhana. Ada pun peralihan pernatan zaman dari Majapahit ke Demak Bintoro, menurut catatan sejarah China, baru terjadi pada saat kepemimpinan Adipati Unus (1518-1521 Masehi).
Munculnya Keris-keris Sakti
Kebenaran tentang pernah adanya perang Demak-Majapahit, hingga kini masih menjadi pro-kontra. Sementara dalam sejumlah babad seputar zaman itu, muncul kisah-kisah keris sakti. Antara lain, keris Kyai Condong Campur, keris Kyai Sengkelat, keris Sabuk Inten dan keris Kyai Crubuk. Ketiga keris ini sangat kawentar dalam khasanah budaya-tosan aji Nusantara, khususnya di Jawa.
Tak hanya daya kesaktian keris-keris itu yang melegenda, namun juga makna filosofi di baliknya. Makna atau nilai filosofi ini dipandang bukan sekedar hasil kajian budaya, namun juga sebagai nilai spiritual keris yang semakin mengukuhkan keampuhan tuah atau berkahnya. Tak pelak, keris-keris itu banyak diburu oleh para calon pemimpin bangsa. Terutama, keris Kyai Condong Campur.
Keris ampuh itu muncul ketika Majapahit mulai didera konflik yang bersumber dari adanya perbedaan. Saat itu, dua golongan yang memiliki perbedaan pandangan adalah golongan pejabat, pedagang atau pemilik modal. Golongan kedua adalah masyarakat bawah yang kecewa karena kondisi, seperti keterpurukan nasib dan tekanan hidup. Keadaan ini membuat perbedaan kasta yang bersumber dari ajaran Hindhu, berubah menjadi sesuatu yang juga ditentang.
Dalam keadaan seperti itu, muncullah keris berdapur Sabuk Inten, yang dipandang mewakili golongan para pejabat atau pedagang. Sabuk berarti ikat pinggang, dan Inten berarti intan atau permata. Sedangkan keris berdapur Sengkelat dipandang mewakili golongan masyarakat bawah yang kecewa terhadap situasi. Sengkelat berasal dari kata sengkel atine atau dongkol-kecewa berat.
Di antara kedua golongan itu, muncul sebuah keinginan untuk menyatukan keduanya, yang terwakili oleh keris Kyai Condong Campur. Condong artinya miring, mengarah pada suatu titik yang juga berarti keberpihakan atau keinginan. Campur berarti menjadi satu atau berpadu. Dengan demikian, Condong Campur adalah keinginan untuk menyatukan suatu keadaan atau golongan tertentu. Konon, keris Kyai Condong Campur ini dibuat beramai-ramai oleh seratus orang Mpu. Keris ini menjadi pusaka ampuh Majapahit. Tapi anehnya, keris ini disebut berwatak jahat.
Dalam khasanah tosan aji, terdapat kisah yang menceritakan pertarungan antara keris-keris itu. Sabuk Inten yang merasa terancam eksistensinya, memerangi Condong Campur. Dalam pertikaian itu, Sabuk Inten kalah. Sedangkan keris Sengkelat yang juga merasa sangat tertekan oleh kondisi, ikut memerangi Condong Campur dan akhirnya menang. Keris Kyai Condong Campur yang kalah perang, melesat ke angkasa menjadi Lintang Kemukus dan mengancam akan kembali ke bumi setiap 500 tahun untuk membuat ontran-ontran.
Pertarungan keris-keris sakti itu dikisahkan dalam Babad Tanah Jawa. Dalam babad itu, keris Kyai Condong Campur dikatakan sebagai keris jahat penebar penyakit di Majapahit. Karena itu, lintang kemukus menjadi mitos tersendiri, yang kemunculannya dipercaya sebagai pertanda datangnya pagebluk atau wabah penyakit.
Pusaka Tombak Korowelang
Kekalahan keris Kyai Condong Campur yang dikisahkan dalam sejumlah babad, seakan justru mematahkan mitos tentang keris tersebut yang bisa menyatukan bangsa. Apa lagi, keris Kyai Condong Campur dimitoskan sebagai penebar wabah penyakit, yang ketika itu juga nyaris menewaskan Dewi Dwarawati, permaisuri Brawijaya V. Beruntung sekali ketika itu, keris Kyai Sengkelat milik Mpu Supa Mandrangi mampu mengalahkan keris Kyai Condong Campur dan melenyapkan pagebluk yang melanda seantero Majapahit.
Lantas, pusaka apakah sebenarnya yang bisa memberikan kekuatan bagi pemiliknya, sehingga mampu menyatukan berbagai elemen bangsa dan negara? Pusaka Tombak Korowelang, Tombak Tunggul Nogo dan Songsong Tunggul Nogo serta Senjata Cakra.
Tombak Korowelang tercatat dalam kisah pewayangan yang menyebutnya sebagai kepunyaan Pandu Dewanata. Tombak itu juga pernah dimiliki oleh Brawijaya V, dan pernah pula dimiliki oleh mantan presiden pertama RI, Ir Soekarno. Tapi sejak Bung Karno lengser, tombak itu lenyap. Pusaka Majapahit itulah yang bisa menyatukan bangsa ini dan mengakhiri setiap ontran-ontran serta bencana alam yang selama ini melanda.
Dengan mengkirabkan Tombak Korowelang ke seluruh penjuru Nusantara, menurut Kyai Sunarto, berbagai bencana alam seperti banjir dan angin puting beliung bisa diredam. Pemilik Tombak Korowelang akan membawa bangsa ini menuju tata titi tentrem, kerto raharjo, gemah ripah loh jinawi
Daya kasekten Tombak Korowelang ini adalah mampu menentramkan dan meredam setiap gejolak, baik yang bersumber dari manusia atau alam. Pusaka Tombak Korowelang juga dikenal di Ponorogo, Jawa Timur. Tombak itu dikirab setiap bulan Suro dalam ritual Grebeg Suro di kota Warok itu.
Korowelang juga merupakan nama keris pusaka Pangeran Samber Nyawa, yang masih dikirabkan setiap bulan Suro di Wonogiri. Danang Sutowijoyo alias Panembahan Senopati juga disebut-sebut pernah memiliki pusaka Jala Korowelang.
Post a Comment for "Legenda Keris Kyai Condong Campur dan Tombak Korowelang"